Foto: Albar Sentosa Subari . SH.SU dan Zainul Marzadi .SH.
PALI, Galih.Info - Pengadilan Agama telah kehilangan kewenangan nya atas perkara kewarisan sejak tahun 1937 (lintasan sejarah). Namun di Jawa masih tetap menyelesaikan perkara perkara kewarisan sangat mengesankan. Yaitu dalam prakteknya diselesaikan / diperiksa sekali seminggu untuk bersidang karena perkara sangat sedikit, dibandingkan diluar pulau Jawa malah permohont/ gugatan diajukan ke Pengadilan Agama lebih banyak dibanding yang masuk Pengadilan Negeri ( Daniel S. Lev, 1972).
Tentu ini ada sebabnya :
1. perkara yang sebetulnya tidak ada sengketa yang terjadi didalaminya. Bila seorang meninggal dunia, keluarga yang ditinggalkan mohon bantuan Pengadilan Agama akan memberi " fatwa" kepada pemohon dengan menentukan siapa atau siapa yang menjadi ahli waris dan berapa kehagiannya masing masing.
Tidak ada peraturan mengenai fatwa waris ini, ia tumbuh dan berkembang dari kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mula mula tidak mempunyai bentuk, tetapi kemudian fatwa itu diberi bentuk tertulis dan disebut Surat Keterangan Ahli Waris atau Surat keterangan tentang Pembagian harta warisan dengan perdamaian.
Fatwa fatwa ini dapat menyelesaikan beberapa jenis persoalan kewarisan apa saja yang dimohonkan oleh pihak yang berkepentingan. Bahkan bukan itu saja tetapi juga kalau para ahli waris menghendaki nya, hakim pengadilan agama bisa membantu mereka melaksanakan pembagian itu demi bagian Hibah dan wasiat juga dapat diselesaikan dengan bantuan hakim Pengadilan Agama. Ini semua berjalan walaupun secara formal Pengadilan Agama du Jawa dan Madura tak mempunyai wewenang hukum untuk melakukan tindakan hukum atas perkara perkara itu. Namun, atau dasar bantuan (hukum) tidak resmi ini.
Pengadilan Agama mampu dan benar benar dapat menyelesaikan tugasnya atas perkara kewarisan. Dan fatwa fatwa Pengadilan Agama itu selalu didasarkan pada Hukum islam. Sementara itu perlu dicatat bahwa di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh Notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian juga halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di kantor agraria.
2. Adalah yang benar benar bersifat persengketaan. Pada Pengadilan Agama di Jawa dan Madura panitera dan hakimnya bersikap formal birokratis, persengketaan kewarisan yang diajukan kepada mereka biasanya segera diteruskan kepada Pengadilan Negeri.
Namun sering terjadi, para hakim agama menerima perkara itu dan mencoba memutuskan nya. Hasil penyelesaian nya yang terbaca masih tetap fatwa, tetapi dalam penyelesaian ini ada yang kalah dan ada yang menang. Yang kalah mungkin akan mengambil keputusan untuk memajukan persengketaan nya je Pengadilan Negeri. (Daniel S.lev).
Peranan hakim agama seperti ini disebabkan karena mereka yakin bahwa wewenang mengadili perkara kewarisan seyogyanya ada pada Pengadilan Agama seperti sebelum tahun 1937.
Dari kesemuanya itu kenapa mereka lebih memilih mengajukan perkara kewarisan ke Pengadilan Agama mungkin bisa dianalisis beberapa faktor dimana menurut penulis hal itu dikarenakan lebih kurang;
1. Pengadilan Agama dianggap bersifat islami
2. Penyelesaian dirasakan enak dan fleksibel (jauh lebih informal)
3. lebih bisa bertindak cepat dalam perkara kewarisan.
Kalau kita telusuri dari sisi hukum adat wajar itu terjadi karena Pengadilan Agama sudah menjadi satu perasaan dengan mereka disebabkan Pengadilan agama menggunakan sumber hukum islam, Yang memang sudah mereka kerjakan sehari malam menjalankannya rukun iman dan rukun islam.
Sedangkan konsep pengadilan umumnya asing bagi mereka, karena baik hukum materil dan formalnya
Sumber: Penulis : Albar Sentosa Subari . SH.SU dan Zainul Marzadi .SH.
Peneliti Hukum dan Adat Sumatera Selatan .