Foto: Albar Sentosa Subari, SH, SU dan Zainul Marzadi,SH, MH
PALI, Galih.Info - Peneliti Hukum dan dan Adat Sumatera Selatan Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda mulai menguasai sungguh sungguh kepulauan Indonesia terhadap Hukum Islam mulai berubah, namun perubahan itu dilaksanakan secara perlahan, berangsur angsur. Di zaman Daendels ( 1808-1811) perubahan itu masih belum dimulai.
Dimasa itu umumlah pendapat yang mengatakan bahwa Hukum Islam adalah hukum orang pribumi yang mengatakan bahwa perihal (hukum) orang Jawa tidak boleh diganggu dan hak hak penghulu mereka untuk memutus beberapa macam perkara tentang perkawinan dan waris harus diakui oleh alat kekuasaan pemerintah Belanda.
Di samping itu, ua juga menegaskan kedudukan para penghulu sebagai tenaga ahli hukum islam yaitu hukum asli orang Jawa dan susunan badan peradilan yang dibentuknya, sebagai penasehat dalam suatu masalah atau perkara. (Soepomo-Djokosutomo, 1955).
Waktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) keadaan tak berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal Inggris untuk kepulauan Indonesia pada waktu itu mengatakan bahwa hukum yang berlaku di kalangan rakyat adalah hukum islam (ibid, h. 80)
Setelah Indonesia dikembalikan olwh Inggris kepada Belanda berdasarkan Konvensi 1814.pemerintah kolonial Belanda membuat suatu Undang undang tentang kebijaksanaan Pemerintahan, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahannya di Asia. Undang Undang itu berakibat perubahan di hampir semua bidang hidup dan kehidupannya orang Indonesia, termasuk bidang hukum, yang akan merugikan perkembangan hukum islam selanjutnya.
Menurut H.J.Benda,pada abad ke XIX, banyak orang Belanda, baik di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda, sangat berharap segera dapat menghilangkan pengaruh islam dari sebahagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara diantaranya melalui proses yang akan mereka lakukan. (HJ. Benda, 1958).
Mengenai kedudukan hukum islam usaha pembaharuan hukum islam di tatanan hukum di Hindia Belanda itu, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi ketua komisi tersebut menulis sebuah nota kepada pemerintah Belanda, yang berbunyi antara lain bahwa.
"Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan - jika diadakan perlawanan + jika diadakan pelanggaran terhadap orang pribumi dan agama islam, maka harus diikhtiarkan sedapat dapat nya agar mereka itu dapat tinggal dalam lingkungan ( Hukum agama serta adat istiadat mereka ( Jamaluddin, Dt. Singkmangkuto, 1978) Bp. Muhammad Daud Ali, SH mengatakan bahwa mungkin akibat nota Scholten itulah pasal 75 RR ( Regeering Reglement) menginstruksikan kepada pengadilan untuk memperlakukan undang-undang agama, lembaga lembaga dan kebiasaan pribumi". Ungkapnya lanjut beliau (M. Daud Ali)
Nota ini juga mendorong terbentuk nya pengadilan agama di Jawa dan Madura ( Sayuti Thalib, 1980).
Sumber: Albar Sentosa Subari, SH, SU dan Zainul Marzadi,SH, MH